Saturday, August 4, 2012

Tanah Kita? Bukan! Tanah Gw (Mafia Tanah)

Saat liburan UAS kali ini, tepatnya saat nganggur dan kemarin hang out ke somewhere di luar DKI Jakarta tak sengaja terdengar oleh telinga gw masalah yang sedang dialami oleh korban MAFIA TANAH, dimana dia dan beberapa orang warga tanahnya diambil oleh pihak lain. sebenarnya nggak tau juga sih siapa yang benar tapi kasihan kalau mendengar kisahnya yang sangat miris.....tentunya gw nggak akan buka dimana lokasi dan berapa hektare tanah yang diambil, bukan puluhan atau ratusan tapi ribuan hektar tanah warga diambil.....
Langkah pertama yang gw lakukan yaitu menulis di kompasiana dan apakah yang terjadi?kurang lebih 2 jam setelah gw menulis gw tidur dan pas bangun...gw mencoba buka tulisan gw dan ternyata SUDAH DIBLOK atau apapun istilahnya disaat pembaca yang ke-35. Untungnya gw masih punya blog dan masih bisa berbagi.... beginilah ceritanya..copy dari http://hukum.kompasiana.com/2012/08/04/tanah-kita-bukan-tanah-gw-mafia-tanah/

Luasnya wilayah daratan Indonesia yang dipisahkan oleh perairan menjadikan Indonesia mengedepankan azas archipellago, dimana azas tersebut berpendapat bahwa perairan menghubungkan daratan sehingga Indonesia menjadi satu kesatuan yang utuh. Begitu pula seharusnya hukum yang berlaku, seharusnya bisa diterapkan sama di setiap wilayah di Indonesia. Tidak ratanya penyebaran penduduk di Indonesia menjadikan pulau Jawa menjadi pulau dengan penduduk terbanyak di Indonesia.
copas dari Antara Foto
copy dari Antara Foto
Tidak meratanya penyebaran penduduk membuat banyak lahan kosong di luar pulau jawa mengalami sengketa pertanahan yang belakangan ini marak di bahas di beberapa media dan belum berapa lama pernah saya dengar dari salah satu korban yang sebelumnya tidak saya kenal, misalnya di pulau Sumatera dan Kalimantan yang terkenal dengan perkebunannya. Bagaimana tidak iba mendengar ceritanya, terlebih jika memposisikan diri kita pada diri korban. Korban yang memiliki tanah dan “katanya” bayar pajak diusir dari tanah yang ditempati. Padahal secara logika, termasuk saya sebagai yang awam mengenai hukum tidaklah mungkin ada orang yang mau dan diizinkan untuk membayar pajak tanah yang bukan miliknya. Tidak hanya itu, bahkan para mafia pintar tersebut medayagunakan para preman hingga oknum aparat yang menjadi keparat karena tidak menegakkan hukum yang seharusnya tetapi menjadi akrab dengan para mafia yang sangat dermawan terhadapnya dan ketika punya kepentingan. Ketika warga datang ke tempat dimana seharusnya kasus tersebut bisa ditindak malah tidak ditindak. Bahkan ketika mereka membawa kasus ini ke Jakarta, ketika para “ksatria penegak hukum” terbang ke TKP, mereka menjadi luluh lanta karena wibawa, kebaikan, dan kedermawanan para mafia tersebut. Hal ini sudah berlarut-larut dan masih belum terselesaikan. Banyak warga yang menjadi korban baik dari preman hingga aparat yang menjebloskan beberapa orang ke dalam penjara. Miris rasanya jika merasakannya, bayangkan seseorang yang menjual assetnya untuk bisa berkebun di sebuah lahan harus mengorbankan harta bendanya dengan maksud untuk memperoleh laba dari lahan yang dibeli dan dikelolahnya harus menderita kerugian dan tekanan dari pihak-pihak yang mengatakan bahwa tanah itu milik orang lain (pribadi maupun perusahaan swasta). Sangat disayangkan mengapa hal ini bisa terjadi, apakah peraturan yang kurang jelas atau ada pihak yang lengah dalam pengawasan.
Upaya hukum seharusnya bisa dilakukan untuk mengetahui apa yang benar, bukan didiamkan dan “digantung” statusnya. Itu pun masih diragukan karena para mafia tersebut pasti terus mencari kesempatan dengan merangkul dan menawarkan tidak hanya “apel wasington” tapi bisa jadi “durian bangkok”. Sungguh tragis jika hal ini dibiarkan. Sudah saatnya kita sebagai warga yang dalam proses menjadi masyarakat madani empati terhadap masalah-masalah di sekitar kita. Terlebih bagi kawan mahasiswa sebagai calon penerus bangsa, mau dibawa kemana Indonesia ini?

No comments:

Post a Comment