Tuesday, June 26, 2012

KLASIFIKASI HUKUM KEPABEANAN DAN CUKAI DALAM TINDAK PIDANA


Perbedaan Pelanggaran dan Kejahatan
Secara teoritis memang sulit sekali untuk membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran, Istilah kejahatan berasal dari kata “jahat”, yang artinya sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek, yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. Kejahatan berarti mempunyai sifat yang jahat atau perbuatan yang jahat(Pipin Syarifudin,2000:93). Menurut Moeljatno terdapat dua cara pandang dalam membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yakni pandangan pertama yang melihat adanya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dari perbedaan kualitatif. Dalam pandangan perbedaan kualitatif antara kejahatan dan pelanggaran dikatakan bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentantangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian (Moeljatno,2002:71).Pandangan kedua yakni pandangan yang menyatakan bahwa hanya ada perbedaan kuantitatif (soal berat atau entengnya ancaman pidana) antara kejahatan dan pelanggaran.
Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran yaitu menurut Moeljatno:
Tindak Pidana Kejahatan (misdrijf)
Tindak Pidana Pelanggaran (overtreding)
• dlm. MvT : sebelum ada UU  sudah dianggap tidak baik (recht-delicten)
• Hazewinkel-Suringa : tidak ada perbedaan kualitatif,  hanya perbedaan kuantitatif
a) Percobaan : dipidana
b) Membantu : dipidana
c) Daluwarsa : lebih panjang
d) Delik aduan : ada
e) Aturan ttg Gabungan berbeda
• KUHP : Buku II
• dlm MvT : baru dianggap tidak baik setelah ada UU
(wet delicten)
• Perbedaan dg kejahatan:
a) Percobaan : tidak dipidana
b) Membantu : tidak dipidana
c) Daluwarsa : lebih pendek
d) Delik aduan : tidak ada
e) Aturan ttg Gabungan berbeda
• KUHP : Buku III

Bisa dikatakan bahwa perbedaan antara pelanggaran dengan kejahatan adalah:
-Pelanggaran
Orang baru menyadari hal tersebut merupakan tindakpidana karena perbuatan tersebut tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik undang-undang ). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal 569. Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan (pasal 285 KUHP).
-Kejahatan
Meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang menjadi tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan dan patut dipidana, istilahnya disebut rechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh mabuk ditempat umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP).
Klasifikasi Delik dalam Hukum Kepabeanan dan Cukai
Hukum Kepabeanan dan Cukai termasuk dalam tindak pidana ekonomi dan banyak ahli yang meragukan efektivitas daya kerja menakuti (mencegah atau menangkal) dari beratnya bobot (ancaman) pidana menurut undang-undang). Hal ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa tindak pidana ekonomi umumnya dilandasi oleh motif ekonomi dan pelaku tindak pidana ekonomi ini umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, mereka biasanya telah menikmati jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan bilamana pelaku tindak pidana adalah sebuah badan hukum, kemungkinan besar mempekerjakan staf hukum tersendiri. Kedua, pengusaha umumnya tidak tertarik untuk mengambil resiko yang tidak perlu; resiko demikian hanya akan membahayakan (tingkat) keuntungan yang bisa diperolehnya.
Sebagai contoh ketentuan Pasal 103 UU Kepabeanan No. 17 Tahun 2006 berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang yang:
a. menyerahkan pemberitahuan pabean dan/ataudokumen pelengkap pabean yang palsu atau    dipalsukan;
b. membuat, menyetujui, atau turut serta dalam pemalsuan data ke dalam buku atau catatan;
c. memberikan keterangan lisan atau tertulis yang tidak benar, yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban pabean; atau
d. menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Perbuatan pidana yang dirumuskan oleh UU Kepabeanan tersebut di atas dibuat dalam bentuk “tindak pidana formal” (formeel delict), yaitu tindak pidana dirumuskan sebagai suatu bentuk perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu, dan juga merupakan commissie-delict yaitu tindak pidana yang berupa melakukan suatu perbuatan positif.
Lawan “tindak pidana formal” adalah “tindak pidana materiil’ (materieel delict), yaitu apabila tindak pidana dalam suatu ketentuan hukum pidana (strafbepaling) dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu tanpa merumuskan suatu bentuk dari perbuatan itu. Contoh: Pasal 338 dan 187 KUHP. Lawan dari commissie-delict adalah omissie-delict yang berarti tindak pidana dalam bentuk melalaikan kewajiban untuk melakukan sesuatu. Jadi ada kalanya seseorang diancam akan dihukum pidana apabila tidak melakukan perbutan tertentu, misalnya Pasal 224, 529, dan 531 KUHP.
Di dalam Undang-Undang Kepabeanan Nomor  17  Tahun 2006 Tentang Kepabeanan, tertulis bahwa kata “pelanggaran” maupun kata “kejahatan” dalam beberapa pasal didalamnya. Kita bisa lihat kata pelanggaran terdapat di dalam
Bab X Pasal 54,
“.....diduga merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia.”
pasal 61 ayat 1,
“.....tersebut tidak merupakan atau tidak berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta, pemilik barang impor atau....”
Pasal 102 B,
“......Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A yang mengakibatkan terganggunya sendi..”
 Pasal 113 A ayat 2,
“....Pelanggaran terhadap kode etik oleh pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai..”
Pasal 113 D ayat 1.
“...unit kerja yang berjasa dalam menangani pelanggaran kepabeanan berhak memperoleh premi.”
 Sedangkan kata kejahatan tertulis di dalam
Bab X Pasal 64 A ayat 1,
“.....bukti permulaan diduga terkait dengan tindakan terorisme dan/atau kejahatan lintas negara dapat dilakukan penindakan...”
            Secara kuantitas, kata pelanggaran terdapat lebih banyak dibanding kata kejahatan dalam UU kepabeanan. Artinya walau pun UU Kepabenan dapat dimasukkan ke dalam tindak pidana pelanggaran dan kejahatan, sebagian besar pasalnya cenderung ke arah delik pelanggaran. Hal ini didukung dari tabel “Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran yaitu menurut Moeljatno” dikatakan bahwa sebelum MvT sebagian besar delik yang terjadi belum dapat diklasifikasikan ke dalam delik itu sendiri. Selain itu kita tahu bahwa pelaku bisnis dalam dunia kepabeanan memiliki pendidikan dan pemikiran yang sudah cukup maju. Artinya (menurut saya) tindakan percobaan yang dilakukan oleh pelaku tetap dan harus di berikan sanksi. Sangat kecil kemungkinannya bila pelaku melakukan percobaan dengan tidak sengaja. Pasti lah pelaku melakukan percobaan dengan sengaja dan apabila diketahui petugas bea cukai bahwa pelaku tersebut memberitahukan data yang tidak benar dengan tujuan memperkecil biaya yang seharusnya di tanggung, maka terhadap pelaku tersebut dikenakan sanksi administrasi dan/atau denda.
Penghapusan pidana juga seharusnya tidak bisa diberikan seperti yang berlaku dalam KUHP pasal 44 , pasal 48, pasal 49, pasal 50. Tetapi tetap dapat diberikan pengecualian pada pasal 51 KUHP.  Hal ini sangat menarik karena pasal 51 KUHP berhubungan dalam Bab XV tentang Pembinaan Pegawai.  Dimana dalam pasal 113 A, pasal 113 B dan pasal 113 C harus disesuaikan dengan pasal 51 KUHP dimana pegawai yang melakukan kesalahan atas dasar perintah jabatan atasannya tidak seharusnya untuk diberikan sanksi karena orang tersebut melakukan hal tersebut bukan merupakan delik kejahatan tetapi pelanggaran dan pelaku melakukan hal tersebut karena perintah jabatan bukan karena kehendaknya.
Di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai HANYA terdapat kata pelanggaran, tanpa terdapat satu pun kata kejahatan. Kata-kata pelanggaran terdapat dalam pasal:
A.    Bab V tentang Perizinan, Pasal 14 ayat 3a point a
“.....bahwa pemegang izin melakukan pelanggaran pidana di bidang cukai.”
B.     Pasal 64 A ayat 2
Pelanggaran terhadap kode etik oleh pegawai Direktorat...”
C.     Pasal 64 D ayat 1
“...berjasa dalam menangani pelanggaran di bidang cukai berhak memperoleh premi.”
Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa hukum dalam Undang-Undang Kepabeanan dan Cukai dapat diklasifikasikan ke dalam delik kejahatan dan pelanggaran, tetapi secara garis besar dapat dikatakan bahwa UU Kepabeanan dan Cukai masuk dalam delik pelanggaran.

No comments:

Post a Comment