Perbedaan Pelanggaran dan Kejahatan
Secara
teoritis memang sulit sekali untuk membedakan antara kejahatan dengan
pelanggaran, Istilah kejahatan berasal dari kata “jahat”, yang artinya sangat
tidak baik, sangat buruk, sangat jelek, yang ditumpukan terhadap tabiat dan
kelakuan orang. Kejahatan berarti mempunyai sifat yang jahat atau perbuatan
yang jahat(Pipin Syarifudin,2000:93). Menurut Moeljatno terdapat dua cara
pandang dalam membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yakni pandangan
pertama yang melihat adanya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dari
perbedaan kualitatif. Dalam pandangan perbedaan kualitatif antara kejahatan dan
pelanggaran dikatakan bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu
perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai
perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang
bertentantangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah
“wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru
dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian
(Moeljatno,2002:71).Pandangan kedua yakni pandangan yang menyatakan bahwa hanya
ada perbedaan kuantitatif (soal berat atau entengnya ancaman pidana) antara
kejahatan dan pelanggaran.
Perbedaan
antara kejahatan dan pelanggaran yaitu menurut Moeljatno:
Tindak
Pidana Kejahatan (misdrijf)
|
Tindak
Pidana Pelanggaran (overtreding)
|
•
dlm. MvT : sebelum ada UU sudah
dianggap tidak baik (recht-delicten)
•
Hazewinkel-Suringa : tidak ada perbedaan kualitatif, hanya perbedaan kuantitatif
a)
Percobaan : dipidana
b)
Membantu : dipidana
c)
Daluwarsa : lebih panjang
d)
Delik aduan : ada
e)
Aturan ttg Gabungan berbeda
•
KUHP : Buku II
|
•
dlm MvT : baru dianggap tidak baik setelah ada UU
(wet
delicten)
•
Perbedaan dg kejahatan:
a)
Percobaan : tidak dipidana
b)
Membantu : tidak dipidana
c)
Daluwarsa : lebih pendek
d)
Delik aduan : tidak ada
e)
Aturan ttg Gabungan berbeda
•
KUHP : Buku III
|
Bisa
dikatakan bahwa perbedaan antara pelanggaran dengan kejahatan adalah:
-Pelanggaran
Orang
baru menyadari hal tersebut merupakan tindakpidana karena perbuatan tersebut
tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik
undang-undang ). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal 569.
Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan
(pasal 285 KUHP).
-Kejahatan
Meskipun
perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang menjadi tindak pidana
tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan dan patut
dipidana, istilahnya disebut rechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam buku II
KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh mabuk ditempat umum (pasal 492
KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas
dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP).
Klasifikasi Delik dalam Hukum Kepabeanan
dan Cukai
Hukum
Kepabeanan dan Cukai termasuk dalam tindak pidana ekonomi dan banyak ahli yang
meragukan efektivitas daya kerja menakuti (mencegah atau menangkal) dari
beratnya bobot (ancaman) pidana menurut undang-undang). Hal ini dilatarbelakangi
oleh pandangan bahwa tindak pidana ekonomi umumnya dilandasi oleh motif ekonomi
dan pelaku tindak pidana ekonomi ini umumnya memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: Pertama, mereka biasanya telah menikmati jenjang pendidikan yang lebih
tinggi dan bilamana pelaku tindak pidana adalah sebuah badan hukum, kemungkinan
besar mempekerjakan staf hukum tersendiri. Kedua, pengusaha umumnya tidak
tertarik untuk mengambil resiko yang tidak perlu; resiko demikian hanya akan
membahayakan (tingkat) keuntungan yang bisa diperolehnya.
Sebagai
contoh ketentuan Pasal 103 UU Kepabeanan No. 17 Tahun 2006 berbunyi sebagai
berikut:
Setiap orang yang:
a. menyerahkan pemberitahuan pabean
dan/ataudokumen pelengkap pabean yang palsu atau dipalsukan;
b. membuat, menyetujui, atau turut
serta dalam pemalsuan data ke dalam buku atau catatan;
c. memberikan keterangan lisan atau
tertulis yang tidak benar, yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban pabean;
atau
d. menimbun, menyimpan, memiliki,
membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang
diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 102
dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Perbuatan
pidana yang dirumuskan oleh UU Kepabeanan tersebut di atas dibuat dalam bentuk
“tindak pidana formal” (formeel delict), yaitu tindak pidana dirumuskan sebagai
suatu bentuk perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan
itu, dan juga merupakan commissie-delict yaitu tindak pidana yang berupa
melakukan suatu perbuatan positif.
Lawan
“tindak pidana formal” adalah “tindak pidana materiil’ (materieel delict),
yaitu apabila tindak pidana dalam suatu ketentuan hukum pidana (strafbepaling)
dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu tanpa
merumuskan suatu bentuk dari perbuatan itu. Contoh: Pasal 338 dan 187 KUHP. Lawan
dari commissie-delict adalah omissie-delict yang berarti tindak pidana dalam
bentuk melalaikan kewajiban untuk melakukan sesuatu. Jadi ada kalanya seseorang
diancam akan dihukum pidana apabila tidak melakukan perbutan tertentu, misalnya
Pasal 224, 529, dan 531 KUHP.
Di
dalam Undang-Undang Kepabeanan Nomor
17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan,
tertulis bahwa kata “pelanggaran” maupun kata “kejahatan” dalam beberapa pasal
didalamnya. Kita bisa lihat kata pelanggaran terdapat di dalam
Bab
X Pasal 54,
“.....diduga
merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di
Indonesia.”
pasal
61 ayat 1,
“.....tersebut tidak merupakan atau tidak berasal
dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta, pemilik barang impor
atau....”
Pasal
102 B,
“......Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A yang mengakibatkan
terganggunya sendi..”
Pasal 113 A ayat 2,
“....Pelanggaran terhadap kode
etik oleh pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai..”
Pasal
113 D ayat 1.
“...unit
kerja yang berjasa dalam menangani pelanggaran kepabeanan berhak
memperoleh premi.”
Sedangkan kata kejahatan tertulis di dalam
Bab
X Pasal 64 A ayat 1,
“.....bukti permulaan diduga terkait dengan
tindakan terorisme dan/atau kejahatan lintas negara dapat dilakukan
penindakan...”
Secara
kuantitas, kata pelanggaran terdapat lebih banyak dibanding kata kejahatan
dalam UU kepabeanan. Artinya walau pun UU Kepabenan dapat dimasukkan ke dalam
tindak pidana pelanggaran dan kejahatan, sebagian besar pasalnya cenderung ke
arah delik pelanggaran. Hal ini didukung dari tabel “Perbedaan antara kejahatan
dan pelanggaran yaitu menurut Moeljatno” dikatakan bahwa sebelum MvT sebagian
besar delik yang terjadi belum dapat diklasifikasikan ke dalam delik itu
sendiri. Selain itu kita tahu bahwa pelaku bisnis dalam dunia kepabeanan
memiliki pendidikan dan pemikiran yang sudah cukup maju. Artinya (menurut saya)
tindakan percobaan yang dilakukan oleh pelaku tetap dan harus di berikan
sanksi. Sangat kecil kemungkinannya bila pelaku melakukan percobaan dengan
tidak sengaja. Pasti lah pelaku melakukan percobaan dengan sengaja dan apabila
diketahui petugas bea cukai bahwa pelaku tersebut memberitahukan data yang
tidak benar dengan tujuan memperkecil biaya yang seharusnya di tanggung, maka
terhadap pelaku tersebut dikenakan sanksi administrasi dan/atau denda.
Penghapusan
pidana juga seharusnya tidak bisa diberikan seperti yang berlaku dalam KUHP
pasal 44 , pasal 48, pasal 49, pasal 50. Tetapi tetap dapat diberikan pengecualian
pada pasal 51 KUHP. Hal ini sangat
menarik karena pasal 51 KUHP berhubungan dalam Bab XV tentang Pembinaan
Pegawai. Dimana dalam pasal 113 A, pasal
113 B dan pasal 113 C harus disesuaikan dengan pasal 51 KUHP dimana pegawai
yang melakukan kesalahan atas dasar perintah jabatan atasannya tidak seharusnya
untuk diberikan sanksi karena orang tersebut melakukan hal tersebut bukan
merupakan delik kejahatan tetapi pelanggaran dan pelaku melakukan hal tersebut
karena perintah jabatan bukan karena kehendaknya.
Di
dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai HANYA terdapat kata
pelanggaran, tanpa terdapat satu pun kata kejahatan. Kata-kata pelanggaran
terdapat dalam pasal:
A. Bab
V tentang Perizinan, Pasal 14 ayat 3a point a
“.....bahwa
pemegang izin melakukan pelanggaran pidana di bidang cukai.”
B. Pasal
64 A ayat 2
“Pelanggaran
terhadap kode etik oleh pegawai Direktorat...”
C. Pasal
64 D ayat 1
“...berjasa
dalam menangani pelanggaran di bidang cukai berhak memperoleh premi.”
Kesimpulan
dari pembahasan ini bahwa hukum dalam Undang-Undang Kepabeanan dan Cukai dapat
diklasifikasikan ke dalam delik kejahatan dan pelanggaran, tetapi secara garis
besar dapat dikatakan bahwa UU Kepabeanan dan Cukai masuk dalam delik
pelanggaran.